Apa saja ketentuan dalam wakaf?
Wakaf sendiri berarti menahan bentuk pokok dan menjadikannya untuk fii sabilillah sebagai bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). (Lihat Minhah Al-‘Allam, 7: 5)
Mengenai ketentuan tentang wakaf dijelaskan dalam hadits ‘Umar berikut ini.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi shamohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata,
“Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda,
إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
“Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).”
Perawi hadits berkata,
فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh diwarisi. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632).
Dalil di atas disebut oleh para ulama sebagai dalil pokok yang membicarakan masalah wakaf. Ada beberapa kesimpulan dari hadits tersebut yang bisa diambil:
- Wakaf merupakan bentuk amal jariyah.
- Wakaf hendaklah diambil dari harta yang terbaik sehingga berbuah pahala yang besar.
- Untuk mempertimbangkan harta yang diwakafkan bisa meminta pendapat dari orang yang berilmu (seorang alim). Orang berilmu tadi bisa mengarahkan wakaf pada hal yang bermanfaat.
- Pengertian wakaf telah diterangkan dalam hadits di atas lewat kalimat yang singkat namun syarat makna. Singkatnya wakaf itu menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya. Misal wakaf berupa tanah, berarti tanah tetap ditahan, sedangkan pemanfaatannya itu yang disedekahkan.
- Kalau lafazh yang digunakan adalah tahbis (engkau tahan), walau bukan dengan lafazh ‘aku wakafkan’, seperti itu sudah bisa dianggap sebagai akad wakaf tanpa perlu ada niatan atau indikasi tambahan.
- Wakaf itu khusus untuk sesuatu yang bertahan bentuknya dan terus bisa dimanfaatkan, bukan sesuatu yang sekali pakai yang langsung pemanfaatannya hilang. Contohnya makanan termasuk sedekah, bukan termasuk wakaf.
- Barang wakaf tidak boleh ditasharufkan dengan dijual, diwariskan, atau dihibahkan.
- Boleh saja orang yang memberi wakaf memberikan syarat-syarat tertentu dalam pemanfaatan wakaf asal tidak bertentangan dengan ketentuann syariat. Syarat yang tidak bertentangan tersebut wajib dijalankan.
- Yang memanfaatkan wakaf ini adalah fakir miskin dan orang-orang yang dituju untuk berbuat baik. Namun yang pertama masuk dalam itu semua adalah kerabat dekat dibanding orang jauh.
- Sebagai nazhir atau pengurus wakaf boleh memanfaatkan wakaf dengan cara yang makruf (sewajarnya). Ia boleh memakan sesuai kebutuhannya dan sesuai kerja kerasnya dalam merawat harta wakaf tersebut.
- Orang kaya boleh makan dari harta wakaf seperti sebagai pengurus atau sebagai tamu. Namun yang jelas harta wakaf tersebut tidak boleh dijadikan milik.
- Jika sudah terjadi akad wakaf, maka sudah menjadi akad lazim walau hanya dengan sekedar perkataan. Kalau sudah lazim berarti sudah jadi akad mengikat dan tidak bisa diminta kembali.
- Boleh bagi pewakaf untuk memberikan syarat agar sebagian wakaf tersebut dimanfaatkan misal oleh nazhir (pengurus wakaf).
Apakah harta wakaf boleh dijual?
Ada beda pendapat dalam masalah ini. Ada ulama seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bolehnya.
Adapun Imam Ahmad berpandangan bahwa harta wakaf boleh dijual dan diganti hanya jika kemanfaataannya sudah tidak ada secara total dan tidak mungkin diperbaiki lagi. Misalnya untuk masjid yang tidak dipakai lagi karena penduduknya sudah tidak ada (pergi) atau ada masjid yang sudah sangat sempit dan tidak mungkin diperlebar lagi. Untuk kasus ini, yang sudah diwakafkan boleh dijual. Seperti ini menjadi pendapat Umar bin Khattab dan pernah ia terapkan, dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengkritik pendapat Umar. Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam fatawanya berpandangan bahwa boleh harta wakaf itu dijual dengan pertimbangan penjualan itu lebih bermaslahat dan lebih bermanfaat. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 31: 219, 229.
Faedah-faedah di atas diambil dari Minhah Al-‘Allam karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, 7: 19-23.
Semoga bermanfaat.
—
Disusun di DS Panggang, Gunungkidul, 1 Safar 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @RemajaIslam
Biar membuka Rumaysho.Com mudah, downloadlah aplikasi Rumaysho.Com lewat Play Store di sini.